Saat aku terjaga,
wajahnya tiba-tiba menyusup begitu saja dalam benakku, membuat hati ini
bergetar tertusuk. Aku mencoba menepisnya namun sepertinya sia-sia saja.
Ia justru semakin dalam menggrogoti pikiranku dan membuatku berdarah. Di saat
itu aku merasa bahwa ini sakit. Teramat sakit! Aku sakit karena harapanku.
Harapan yang begitu konyol untuk dicerna logika bahkan oleh logikaku sendiri.
Harapan yang tumbuh kurang lebih lima tahun yang lalu. Harapan yang terus
bertahan selama itu dan terus saja bertahan hingga saat ini walau kutahu bahwa
harapan itu sungguh semu dan tak akan pernah bisa kugapai.
Sering sekali aku bertanya. Bertanya pada diriku sendiri tentunya karena hingga
saat ini, aku sama sekali tak punya kekuatan untuk berbagi dengan siapapun.
Dunia akan menertawakan dan mencibirku bila tahu tentangnya. Yahh...aku sering
bertanya apa mungkin harapan ini benar-benar punyaku? Apa benar harapan ini
anugerah untukku? Atau...ataukah mungkin harapan ini milik orang lain dan aku
berusaha untuk menembus dasar logikaku sendiri untuk merampasnya? Tapi aku
sungguh merasa harapan ini adalah miliku dan sama sekali tak berniat untuk
merebutnya dari siapapun. Harapan ini muncul begitu saja. Begitu tulus ia
bertunas di relungku dan aku sama sekali tak memintanya. Aku hanya
membiarkannya tumbuh dan berkembang sesuai keinginannya meski kutahu bahwa
harapan itu semakin lama semakin membuatku sakit dan mungkin akan membunuhku.
Aku merinding takut.
Pernah sekali aku berusaha keras untuk membunuh harapanku. Begitu luar biasa
aku bergumul tapi ternyata sia-sia saja. Aku gagal. Harapanku begitu kuat
bercokol. Ia sudah mengakar dan menjeratku. Saat itu, aku merasa bahwa
ternyata, aku bukanlah siapa-siapa. Aku begitu lemah dan tak tahu lagi harus
berbuat apa. Yang kutahu saat itu hanyalah bahwa tubuhku berpeluh. Yang kutahu
saat itu hanyalah bahwa aku hanya bisa membiarkan air mataku menetes begitu
saja. Yang kutahu saat itu adalah bahwa harapanku sendirilah yang menghukum dan
menyiksaku. Dan yang kutahu saat itu adalah bahwa aku ternyata begitu rendah.
Aku mencaci dan mengumpat ketidakberdayaanku.
Waktu pun terus
bergulir. Terus dan terus. Aku tak mau terpaku di tempatku. Akupun ikut berpacu
mengejarnya. Berpacu bersama pula dengan harapanku. Ia tak mau meninggalkanku. Bahkan
ia tak mau menyusul di belakangku. Ia mau berlari sejajar denganku dan
menggandengku karena ia tak mau aku melepaskannya. Anehnya ia begitu kukuh
bertahan. Ia sama sekali tak mau pergi meski di tengah jalan banyak sekali
harapan-harapan lain yang lebih indah menghampiri dan ikut mendekapku.
Harapan-harapan lain yang begitu berani dan secara terang-terangan memeluk dan
berbisik di telingaku bahwa ia sangat menginginkanku. Harapan yang berusaha
untuk mendepaknya dariku. Aku memang terbuai dan sering sekali melebur bersama
harapan baruku. Tetapi tetap sama saja. Memang aku terbuai dengan harapan baru
namun aku sepertinya merasa hambar dengannya. Tak ada ikatan dan sekali lagi
tersa begitu tawar. Teramat tawar malah. Harapan baru itu hanyalah pelarianku semata
untuk menghindar. Di saat aku merasa begitu biasa-biasa saja dengan harapan
baruku, ia dengan angkuh mencibir ke arahku. Dengan semburat senyum anehnya ia
menghampiriku dan lantas berbisik untukuku “ kau takan pernah terlepas dariku. Kau miliku dan itu
untuk selamanya” ia merasa begitu puas.
“ Hai! Kenapa kau selalu
mengikutiku? Kenapa kau menggenggamku begitu kuat? Kapan kau akan melepaskanku?
Aku ingin bebas. Bebas dari Kau!” Aku tak
berbisik tapi membentaknya.
Namun tetap Sama saja. Jangankan takut. Ia justru dengan senyum dingin
menatapku dalam dan kembali ia berbisik untuku. “ lihat wajahmu. Kau begitu munafik. Kau
menginginkanku. Sangat menginginkanku. Kenapa kau terus-terus membantah suara
hatimu?”
“ Iya. Kau benar.
Sangat benar. Aku memang menginginkanmu.Tetapi kau juga pasti sangat tahu bahwa
aku sangat tidak mungkin bisa hidup denganmu. Kau terlalu absurd tuk kupahami
dengan logikaku. Kau teramat semu hingga aku tak berdaya untuk meraihmu.
Bisakah kau mengrti? Tolong aku... karena bagiku, kau sudah menjadi luka di
hatiku.” Aku memelas di hadapannya.
“Apa kau sadar bahwa kau sendiri yang menciptakan luka
untuk dirimu sendiri?” Masih dengan dingin, ia
kembali berbisik lirih.
“Kau salah!
Bagaimana mungkin aku menyakiti diriku sendiri? Aku tak pernah memintamu hadir
untuku. Kau datang seperti angin dan menyusup menembus relungku. Kau yang
memperdayaiku”.
Ia menggeleng.
Masih dengan wajah dingin. kali ini ia merenggangkan genggamannya dan dengan
perlahan melepaskannya. Ia berjalan mendahuluiku. Tiba- tiba saja, rasa takut
merongrongku ketika semakin lama langkahnya semakin cepat..cepat...dan semakin
cepat ia melangkah menjauh meninggalkanku. Aku terperangah heran. Kenapa harus
takut? Bukankah ini yang aku inginkan? Tapi perasaan gila apa lagi ini? Ada apa
denganku? Kenapa aku justru takut ia kan meninggalkanku? Kenapa pula aku harus
menggigil seperti ini dan tak mampu menahan kepergiannya? Persetan! Untuk apa menahannya?
Aaarrrggghhh!!!!
Gila! Ia semakin cepat berlalu meninggalkanku tanpa menoleh sedikitpun. Aku
terpaku di tempat. Tak bisa bergerak sama sekali. Aku terlihat begitu bodoh.
Lebih bodoh lagi ketika perasaan anaeh gantian menyusupiku. Aku merasa sangat
sendirian. Aku tiba-tiba merasa begitu sedih dan...
“ Hey. Tunggu!” Aku tak percaya. Aku berusaha menahannya namun ia semakin cepat
berlalu.
“Tunggu!!!” Kembali aku berteriak
“Kau belum
jawab pertanyaanku. Tunggu!!!” Ulangku.
Ia terus berlalu.
“Kau
dengar tidak? Tunggu!!! Kenapa kau pergi begitu saja?” Kututup mulutku dengan telapak tanganku. Ada apa denganku?
Kenapa aku harus mencegah kepergiannya setelah sekian lama aku berusaha untuk
mengusirnya?
“ Hai tunggu. Jangan
kau tinggalkanku. Tungguu!!!!
Dengan
tertatih aku berusaha mengejarnya dan “ bruuukkk!! Aku terjerembab. Teramat
sakit dan kuangkat wajah ke arahnya namun ia justru berlari cepat tanpa
memperdulikanku. Semakin jauh..jauh dan jauh ia meninggalkanku. Aku hanya bisa
tertunduk ketika bayangannya kini benar-benar sudah hilang ditelan kabut.
Dengan segenap kesedihanku aku kembali mengayuh langkahku yang terasa berat.
Aku lanjut memburu waktu. Dan di pagi ini tepat di tanggal 6 Februari 2010, di
saat aku hampir dekat dengan waktuku, aku tercekat kaget. Di depan sana ada
bayangan yang seolah sedang menungguku. Bayangan itu bahkan bangun dan
melangkah cepat menyongsongku. Semakin dekat dan semakin jelas dan
berrrr!!! Senyum itu, yahh aku sangat mengenalnya. Semburat dingin dan aneh
yang selama ini menyiksaku. Secepat dahulu ketika ia meninggalkanku, kali ini
ia mendekap dan kembali menyusupi relungku.
Aku terjaga dan tanpa kusadari aku terduduk dan menangis. Apa mungkin aku bisa
meraihnya? Akhh...
harapanku terlalu konyol. Terlalu semu. Kembali luka lamaku memburat.
Persembahan khusus dariku untuk dia yang telah lama pergi dan
pagi ini kembali ia menghampiriku dengan sejuta pertanyaan tentangnya.
Karya: Simon Paji
Kupang, 6
Februari 2010 FKIP Undana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar